السؤال: مصباح محمد أحمد من السودان يقول في رسالته هل لحم التمساح والسلحفاة حلال أم حرام لأن هذه كلها عندنا في السودان أفيدونا بارك الله فيكم

Pertanyaan, “Apakah daging buaya dan dan penyu atau kura-kura itu halal ataukah haram karena dua macam hewan ini ada di negeri kami di Sudan?

الجواب
الشيخ: كل صيد البحر حلال حيه وميته

Jawaban Syaikh Ibnu Utsaimin, “Semua hewan buruan air itu halal dikomsumsi baik tertangkap dalam kondisi hidup ataupun dalam kondisi mati.

 قال الله تعالى (أحل لكم صيد البحر وطعامه متاعاً لكم وللسيارة)

Allah berfirman yang artinya, “Dihalalkan bagi kalian hewan buruan air dan makanan darinya sebagai kesenangan bagi kalian dan bagi para musafir” [QS al Maidah:96].


Pertanyaan:
Ust.bagaimana hukumnya jual beli tokek haram/halal../?tolong di jwb b’serta dalil2nya trimaka
sih
Jawaban:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أُمِّ شَرِيكٍ – رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ « كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ »
Dari Said bin al Musayyib, sesungguhnya Ummu Syarik bercerita kepadanya bahwa Nabi memerintahkan untuk membunuh tokek dan beliau bersabda, “Tokek itu dulu ikut meniupi api yang digunakan untuk membakar Ibrahim” [HR Bukhari no 3180 dan Muslim no 2237].



Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggabungkan antara ‘iffah dan kekayaan dalam beberapa hadits. Diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah akan mencukupinya. Dan barangsiapa yang menjaga diri (dari yang haram) maka Allah akan menjaganya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dll.)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaya itu bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kaya itu adalah kaya jiwa.” (HR. Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad). Kekayaan jiwa maksudnya adalah tidak butuh kepada sesama makhluk, karena seseorang akan menjadi hamba selama ia tamak (butuh) pada orang lain, dan seorang akan merdeka selama ia merasa cukup.
Permohonan Makhluk Kepada Sesama Makhluk



Islamic Psychology Studies

Islamic science of behavior and mental processes
Lidah memberikan dampak yang beragam bagi pemiliknya. Semua itu tergantung pada bagaimana sang pemiliknya mengendalikan dan menjaganya. Lidah bisa menjadi liar dan juga bisa menjadi jinak. Oleh karena itu, benarlah ungkapan yang menyatakan bahwa lidahmu adalah harimaumu. Harimau akan menjadi predator yang liar dan buas jika tidak dijinakkan. Ia akan bebas berkeliaran dan berbuat apa saja. Ia akan memangsa apapun ketika lapar dan melukai siapapun yang akan mengancam keberadaannya. Berbeda jika harimau itu bisa dikendalikan. Ia akan jinak dan menjadi hewan pertunjukkan yang dikagumi. Lidah bisa diibaratkan seperti harimau tersebut. Ia akan menjadi sumber malapetaka, kebencian dan fitnah jika tidak dikendalikan. Namun sebaliknya, jika lidah bisa dikendalikan, maka lidah menjadi sumber kebaikan baik berupa ilmu maupun nasehat.
Diam bisa mengendalikan lidah dan menjadikan pikiran lebih konsentrasi. Luqman Al Hakim berkata,
“Diam itu hikmah, namun sedikit orang yang melakukannya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Siapa yang menjamin bagiku apa yang ada diantara dua tulang dagunya (lidah) dan apa yang ada diantara dua kakinya (kemaluannya), maka aku menjaminnya surga).” (HR. Bukhari, At-Tirmidzi dan Ahmad).



sutroh
Pertanyaan : Ustadz apakah benar bahwasanya para ulama telah berijmak bahwa sutroh hukumnya sunnah dan tidak wajib? Mohon penjelasannya.
Jawab :
Alhamdulillah, semoga salawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah dan para sahabatnya.
Telah terjadi dialog yang cukup hangat dan menarik antara dua saudara dan sahabat saya yang mulia tentang permasalahan ini –semoga Allah menambah ilmu mereka dan memberi taufiq kepada mereka berdua- (lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/apa-hukum-sutrah-dalam-shalat.html). Inilah yang mendorong saya untuk menulis tentang permasalahan ini. Semoga bisa menjadi masukan bagi kedua saudara saya tersebut, dan semoga mereka berdua juga bisa memberi masukan bagi saya baarokallahu fiihimaa.
Para pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui bersama bahwa ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam, bahkan pendalilan dengan ijmak lebih didahulukan (yiatu tentu jika ijmak tersebut bersandar kepada dalil kitab atau sunnah) daripada pendalilan hanya dengan sekedar Al-Qur'an dan As-Sunnah. Karena jika telah terbukti adanya suatu ijmak maka akan memutuskan perdebatan dan perselisihan.
Ibnu Hazm berkata,



حكم الأكل بالملاعق قال الشيخ حمود التويجري – رحمه الله – في كتابه ( الإيضاح والتبيين ) ص 184 ( من التشبه بأعداء الله تعالى استقذار الأكل بالأيدي واعتياد الملاعق ونحوها من غير ضرر بالأيدي(
Hukum makan dengan sendok, Syaikh Hamud al Tuwaijiri dalam kitabnya al Idhah wa al Tabyin hal 184 mengatakan, “Termasuk tasyabbuh dengan para musuh Allah (baca:orang-orang kafir) adalah merasa jijik jika makan dengan tangan dan membiasakan diri makan dengan sendok atau semisalnya padahal tangan tidak bermasalah”.
وخالف في ذلك الشيخ الألباني – رحمه الله – فقال : (السلسلة الضعيفة – (ج 3 / ص 201)( و من الغريب أن بعضهم يستوحش من الأكل بالمعلقة ، ظنا منه أنه خلاف السنة ! مع أنه من الأمور العادية ، لا التعبدية ، كركوب السيارة و الطيارة و نحوها من الوسائل الحديثة ، و ينسى أو يتناسى أنه حين يأكل بكفه أنه يخالف هديه صلى الله عليه وسلم(
Syaikh Al Albani memiliki pandangan yang berbeda. Dalam Silsilah Dhaifah 3/201 beliau mengatakan, “Anehnya ada orang yang merasa tidak nyaman jika makan dengan sendok karena dia beranggapan bahwa makan dengan sendok itu menyelisihi sunnah. Padahal makan dengan sendok adalah masalah non ibadah, bukan perkara ibadah. Makan dengan sendok itu semisal dengan naik mobil, pesawat terbang ataupun sarana transportasi modern yang lain. Orang yang menolak untuk makan dengan sendok lalu beralih dengan telapak tangan itu lupa atau pura-pura lupa bahwa makan dengan telapak tangan adalah menyelisih tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.



Kekafiran atau murtad itu karena beberapa sebab, bisa dikarenakan mengingkari sesuatu yang sudah diketahui secara pasti sebagai bagian dari agama atau dengan melakukan perbuatan kekafiran, ucapan kekafiran atau karena tidak peduli dan cuek dengan agama Allah.
Jadi ada orang yang batal imannya karena keyakinan semisal berkeyakinan bahwa Allah memiliki istri atau anak. Atau menyakini bahwa Allah memiliki sekutu dalam memiliki atau mengatur alam semesta. Atau menyakini ada makhluk yang memiliki nama, sifat atau perbuatan sebagaimana Allah. Atau menyakini ada suatu makhluk yang berhak disembah atau menyakini bahwa Allah memiliki sekutu dalamrububiyyah. Dengan keyakinan-keyakinan ini seorang itu terjerumus dalam kekafiran besar yang mengeluarkan dari Islam.
Seorang itu juga bisa murtad karena perbuatan semisal bersujud kepada berhala, mempraktekkan ilmu sihir atau melakukan berbagai bentuk kesyirikan seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih hewan untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah atau berthawaf di selain Ka’bah dalam rangka mendekatkan diri kepada selain Allah. Jadi orang bisa murtad karena perbuatan sebagaimana murtad karena ucapan.



Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Allah Ta’ala berfirman, 'Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.'” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya).


Hadits yang agung ini menyimpan banyak pelajaran berharga, di antaranya:

1. Tauhid merupakan syarat untuk bisa meraih ampunan Allah Ta’ala. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullahberkata mengomentari hal ini, “Ini adalah syarat yang berat untuk bisa mendapatkan janji itu yaitu curahan ampunan. Syaratnya adalah harus bersih dari kesyirikan, banyak maupun sedikit. Sementara tidak ada yang bisa selamat/ bersih darinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah Ta’ala. Itulah hati yang selamat sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala (yang artinya), 'Pada hari ketika tidak lagi bermanfaat harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.'” (Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 53-54)

2. Keutamaan ini hanya akan bisa diperoleh bagi orang yang bersih tauhidnya. Ibnul Qayyim rahimahullahmengatakan, “…Seandainya ada seorang yang bertauhid dan sama sekali tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatupun berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa hampir seisi bumi, maka Allah pun akan menemuinya dengan ampunan sepenuh itu pula. Namun, hal itu tidak akan bisa diperoleh bagi orang yang cacat tauhidnya. Karena, sesungguhnya tauhid yang murni itu yang tidak tercemari oleh kesyirikan apapun, maka ia tidak akan menyisakan lagi dosa. Karena, ketauhidan semacam itu telah memadukan antara kecintaan kepada Allah, pemuliaan dan pengagungan kepada-Nya, serta rasa takut dan harap kepada-Nya semata, yang hal itu menyebabkan tercucinya dosa-dosa, meskipun dosanya hampir memenuhi isi bumi. Najis yang datang sekadar menodai, sedangkan faktor yang menolaknya sangat kuat.” (Dinukil dari Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 54-55).



Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sering kita dengar pembahasan mengenai aurat wanita. Namun mungkin sedikit atau jarang sekali kita mendengar pembahasan aurat para lelaki. Sering kita lihat bagaimana sebagian pria menampakkan paha atau membuka aurat lainnya. Lalu manakah batasan aurat pria yang terlarang dilihat oleh orang lain? Moga Allah memudahkan dalam membahas hal ini.


Aurat Sesama Lelaki
Aurat sesama lelaki –baik dengan kerabat atau orang lain- adalah mulai dari pusar hingga lutut. Demikian menurut ulama Hanafiyah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنَّ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ

Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.”[1]
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pusar sendiri bukanlah aurat. Mereka berdalil dengan riwayat bahwa Al Hasan bin ‘Ali radhiyallhu ‘anhuma pernah menampakkan auratnya lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menciumnya. Akan tetapi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lutut termasuk aurat. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الرُّكْبَةُ مِنَ الْعَوْرَةِ

Lutut termasuk ‘aurat.”[2] Namun hadits ini adalah hadits yang dho’if.
Apa saja yang boleh dilihat oleh laki-laki sesama lelaki, maka itu boleh disentuh.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa lutut dan pusar bukanlah aurat. Yang termasuk aurat hanyalah daerah yang terletak antara pusar dan lutut. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Ayyub Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


Kita seringkali melihat dandanan wanita dengan mencukur alis mata. Apakah dalam Islam hal ini dibolehkan?
Mari kita lihat fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) berikut ini.
Pertanyaan:
Apa hukum wanita mencukur alis atau rambut di antara dua alis karena tebal? Apakah juga boleh bagi wanita mencukur kumus dan rambut wajahnya? Apakah hal ini termasuk dalam hukum alis tadi? Lalu bagaimana jika yang melakukan hal ini adalah wanita yang taat agama, ia melakukannya karena taat suami atau terpengaruh lingkungan sekitar?
Jawaban:
Wanita tidak boleh menghilangkan (mencukur) alis matanya karena perbuatan ini termasuk namsh yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammelaknat orang yang melakukannya. Perbuatan ini termasuk merubah ciptaan Allah dan termasuk perbuatan setan. Jika suaminya yang memerintahkan untuk mencukur alis tersebut, maka suaminya saat itu tidak perlu ditaati.



Mengucapkan : ‘Aamiin’ (setelah membaca AlFatihah)
          Disunnahkan membaca : ‘Aamiin’ setelah menyelesaikan bacaan AlFatihah. Arti bacaan : ‘Aamiin’ adalah : “ Yaa Allah kabulkanlah ”. Dalil disunnahkannya membaca : ‘Aamiin’ setelah membaca AlFatihah adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, AtTirmidzi dari Wail bin Hujr, beliau berkata :
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ اْلمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْن فَقَالَ آمِين مَدَّ بِهَا صَوْتَهَ
“ Saya mendengar Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam membaca :
اْلمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْن
Kemudian membaca : ‘Aamiin’, dengan memanjangkan suaranya “ (H.R Abu Dawud, AtTirmidzi, AnNasaa’i, dan Ibnu Majah, dan disebutkan oleh Syaikh AlAlbani dalam Shohih Ibn Maajah)

Makmum membaca : ‘Aamiin’ ketika Imam menyelesaikan bacaan : وَلاَ الضَّالِّيْن , sesuai dengan Sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam :
وَإِذَا قَالَ - يَعْنِي اْلإِمَام - وَلاَ الضَّالِّيْن فَقُوْلُوا آمِين   يُجِبْكُمُ اللهُ (رواه مسلم)
Jika (Imam) (selesai) membaca : وَلاَ الضَّالِّيْن , maka ucapkanlah : ‘Aamiin’, niscaya Allah akan mengabulkan doa kalian (H.R Muslim)
         Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albaany bahwa bacaan ‘aamiin’ makmum adalah segera setelah imam mengucapkan ‘aamin’. Seseorang yang membaca : “ Aamiin “ tepat bersamaan dengan bacaan : “ Aamiin “ para Malaikat yang mengaminkan bacaan Imam, maka dosa-dosanya akan diampuni. Sesuai dengan hadits :
إِذَا قَالَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ آمِين وَاْلمَلاَئِكَةُ فِي السَّمَاء آمِين فَوَافَقَتْ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه مسلم)
“ Jika salah seorang dari kalian menngucapkan : “Aamiin” dalam sholatnya dan Malaikat di langit mengucapkan : “Aamiin”, kemudian saling tepat (bersamaan) satu dengan yang lain, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu 36 “ (H.R Muslim)



adakah bid'ah hasanahSyubhat-syubhat para pendukung bid'ah hasanah
(Imam Syafii mendukung bid'ah hasanah??)



Syubhat pertama :

Mereka berdalil dengan perkataan beberapa ulama yang mengesankan dukungan terhadap adanya bid'ah hasanah.

Diantaranya adalah perkataan Imam As-Syafi'i dan perkatan Al-Izz bin Abdissalam rahimahumallah.

Adapun perkataan Imam As-Syafi'i maka sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah dengan sanad beliau hingga Harmalah bin Yahya-,

ثَنَا حَرْمَلَة بْنُ يَحْيَى قَالَ : سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِي يَقُوْلُ : البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ، وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ
Dari Harmalah bin Yahya berkata, "Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i berkata, "Bid'ah itu ada dua, bid'ah yang terpuji dan bid'ah yang tercela, maka bid'ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid'ah yang menyelisihi sunnah adalah bid'ah yang tercela", dan Imam Asy-Syafi'i berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" (Hilyatul Auliya' 9/113)

Sebelum menjelaskan maksud dari perkataan Imam As-Syafii ini apalah baiknya jika kita menelaah definisi bid'ah menurut beberapa ulama, sebagaiamana berikut ini:

Definisi bid'ah menurut para ulama

Imam Al-'Iz bin 'Abdissalam berkata :

هِيَ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَهْدِ الرَّسُوْلِ

((Bid'ah adalah mengerjakan perkara yang tidak ada di masa Rasulullah)) (Qowa'idul Ahkam 2/172)

Imam An-Nawawi berkata :

هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ

((Bid'ah adalah mengada-ngadakan sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah)) (Tahdzibul Asma' wal lugoot 3/22)

Imam Al-'Aini berkata :

هِيَ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَصْلٌ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَقِيْلَ: إِظْهَارُ شَيْءٍ لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِي زَمَنِ الصَّحَابَةِ

((Bid'ah adalah perkara yang tidak ada asalnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan dikatakan juga (bid'ah adalah) menampakkan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah dan tidak ada juga di masa para sahabat)) (Umdatul Qori' 25/37)