Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Allah Ta’ala berfirman, 'Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.'” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya).


Hadits yang agung ini menyimpan banyak pelajaran berharga, di antaranya:

1. Tauhid merupakan syarat untuk bisa meraih ampunan Allah Ta’ala. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullahberkata mengomentari hal ini, “Ini adalah syarat yang berat untuk bisa mendapatkan janji itu yaitu curahan ampunan. Syaratnya adalah harus bersih dari kesyirikan, banyak maupun sedikit. Sementara tidak ada yang bisa selamat/ bersih darinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah Ta’ala. Itulah hati yang selamat sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala (yang artinya), 'Pada hari ketika tidak lagi bermanfaat harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.'” (Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 53-54)

2. Keutamaan ini hanya akan bisa diperoleh bagi orang yang bersih tauhidnya. Ibnul Qayyim rahimahullahmengatakan, “…Seandainya ada seorang yang bertauhid dan sama sekali tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatupun berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa hampir seisi bumi, maka Allah pun akan menemuinya dengan ampunan sepenuh itu pula. Namun, hal itu tidak akan bisa diperoleh bagi orang yang cacat tauhidnya. Karena, sesungguhnya tauhid yang murni itu yang tidak tercemari oleh kesyirikan apapun, maka ia tidak akan menyisakan lagi dosa. Karena, ketauhidan semacam itu telah memadukan antara kecintaan kepada Allah, pemuliaan dan pengagungan kepada-Nya, serta rasa takut dan harap kepada-Nya semata, yang hal itu menyebabkan tercucinya dosa-dosa, meskipun dosanya hampir memenuhi isi bumi. Najis yang datang sekadar menodai, sedangkan faktor yang menolaknya sangat kuat.” (Dinukil dari Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 54-55).

3. Hadits ini mengandung keterangan tentang makna la ilaha illallah yang bisa lebih berat timbangannya daripada semua makhluk dan semua dosa. Maknanya adalah meninggalkan syirik dalam jumlah banyak maupun sedikit. Hal itu pasti membuahkan ketauhidan yang sempurna. Tidak mungkin bisa bersih dari syirik kecuali bagi orang yang benar-benar merealisasikan tauhidnya, serta mewujudkan konsekuensi dari kalimat ikhlas (syahadat) yang berupa ilmu, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, rasa cinta, menerima, tunduk patuh dan lain sebagainya menjadi konsekuensi kalimat yang agung itu (lihat Qurrat al-’Uyun al-Muwahhidin, hal. 22). Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengucapkannya -la ilaha illallah- dengan penuh keikhlasan dan kejujuran, maka dia tidak akan terus-menerus tenggelam di dalam kemaksiatan-kemaksiatan. Karena keimanan dan keikhlasannya yang sempurna menghalangi dirinya dari terus-menerus tenggelam dalam maksiat. Oleh sebab itu, dia akan bisa masuk surga sejak awal bersama dengan rombongan orang-orang yang langsung masuk surga.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21).

4. Hadits ini menunjukkan bahwa tauhid tidak hanya cukup di lisan. Namun, tauhid juga menuntut seorang hamba untuk menunaikan kewajiban, serta meninggalkan kemaksiatan. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mempersaksikannya -kalimat tauhid- namun dia mencemarinya dengan perbuatan dosa dan kemaksiatan, atau dia sekadar mengucapkannya dengan lisan sementara hati atau amalannya berbuat syirik seperti halnya orang-orang munafik, maka orang semacam ini ucapan syahadatnya tidak bermanfaat. Akan tetapi yang semestinya dia lakukan adalah mengucapkannya kemudian meyakininya dengan kuat, melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan serta mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 20). Beliau rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang dilarang, maka itu berarti dia telah berani menawarkan dirinya untuk menerima hukuman Allah Ta’alameskipun dia mengucapkan kalimat ini dan meyakininya. Apabila dia melakukan sesuatu yang membatalkan keislamannya, maka berubahlah dia menjadi orang yang murtad dan kafir. Syahadat ini tidak lagi bermanfaat untuknya. Oleh sebab itu, kalimat ini harus diwujudkan dalam kenyataan dan mengamalkan konsekuensi-konsekuensinya, kalau tidak demikian, maka dia berada dalam bahaya besar seandainya dia tidak kunjung bertaubat juga.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 26). Beliau juga mengatakan, “Hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwasanya para pelaku maksiat itu sangat berresiko dijatuhi ancaman siksa dan mereka akan masuk ke neraka, lalu mereka akan dikeluarkan darinya dengan syafa’at para nabi dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan mereka telah melemahkan tauhid mereka dan mencemarinya dengan kemaksiatan-kemaksiatan.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21).

5. Hadits ini menunjukkan betapa besar pahala amalan tauhid (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

6. Hadits ini menunjukkan betapa luasnya kedermawanan dan kasih sayang Allah Ta’ala (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

7. Hadits ini mengandung bantahan bagi orang-orang Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

8. Hadits ini juga mengandung bantahan bagi kaum Mu’tazilah yang memiliki keyakinan bahwa pelaku dosa besar itu berada di antara dua status di alam dunia ini, antara iman dan kafir. Manzilah baina manzilatain dalam istilah mereka, dan pelaku dosa besar menurut mereka kelak akan kekal di neraka (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

9. Allah Ta’ala berkata-kata, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan diri-Nya (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 43).

10. Meninggal di atas tauhid yang bersih merupakan syarat mendapatkan ampunan dosa, dalam hal ini terdapat perincian sebagai berikut: [1] Orang yang mati dalam keadaan melakukan syirik besar atau tidak bertaubat darinya, maka dia pasti masuk neraka. [2] Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih terkotori dengan syirik kecil sementara kebaikan-kebaikannya ternyata lebih berat daripada timbangan keburukannya, maka dia pasti masuk surga. [3] Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih memiliki syirik kecil sedangkan keburukannya justru lebih berat dalam timbangan, maka orang itu berhak masuk neraka namun tidak kekal di sana (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 44).

11. Hadits ini mengandung motivasi (targhib) dan peringatan (tarhib). Ini merupakan motivasi agar orang mau berjuang keras membersihkan tauhidnya dari kotoran syirik dan kemaksiatan, karena Allah menjanjikan ampunan yang demikian besar bagi orang yang murni tauhidnya. Dan ini sekaligus menjadi peringatan bagi orang-orang yang selama ini tenggelam dalam dosa dan kemaksiatan agar waspada dan takut kalau ternyata di akhir hidupnya mereka tidak tergolong orang yang bersih tauhidnya. Karena kotornya tauhid akan menyebabkan dosa-dosa mereka tidak pasti diampuni oleh Allah, padahal kita semua mengetahui bahwa ‘Inna bathsya Rabbika la syadiid’ Sesungguhnya siksaan Rabb-mu amatlah keras… Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Seandainya Allah mau menyiksa manusia -di dunia- sebagai hukuman atas dosa yang mereka perbuat niscaya tidak akan Allah sisakan di atas muka bumi ini seekor binatang melatapun. Akan tetapi Allah menunda hukuman itu untuk mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Maka apabila telah datang saatnya sesungguhnya Allah Maha melihat semua hamba-Nya.” (QS. Fathir: 45). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya adalah apabila Allah menyiksa mereka sebagai hukuman atas semua dosa yang mereka perbuat, maka Allah tentu akan menghancurkan semua penduduk bumi dan segala binatang dan rezeki yang mereka miliki.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/362] cet. Maktabah at-Taufiqiyah).

12. Hadits di atas juga menunjukkan wajibnya mempelajari syirik -dengan segala macam bentuk dan jenisnya- untuk dijauhi, wajibnya menyadari bahayanya yang sangat besar serta memperingatkan umat dari segala sarana yang menjerumuskan ke dalamnya.

13. Hadits di atas juga menunjukkan pentingnya tazkiyatun nafs/ penyucian jiwa. Karena sesungguhnya orang yang bisa meraih keutamaan yang berupa ampunan yang melimpah ruah itu hanyalah orang yang bersih tauhidnya. Sementara hal itu tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengenali maksiat dan menjauhinya serta bertaubat darinya.

14. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa dosa yang paling harus ditakuti dan dijauhi oleh manusia adalah dosa kesyirikan dan kekafiran. Karena dosa itulah yang menghalangi mereka dari memperoleh ampunan Allah Ta’ala. Oleh sebab itulah dalam memperbaiki kondisi masyarakat yang telah mengalami kerusakan dalam berbagai sisi kehidupan mereka maka seorang dai harus memprioritaskan pembenahan akidah dan pemurnian tauhid terlebih dulu, karena ini adalah asas penyucian jiwa dan kunci keselamatan di dunia dan di akhirat.

15. Hadits di atas menunjukkan batilnya semua sesembahan selain Allah Ta’ala. Sehingga tidak ada sosok yang layak untuk dijadikan tempat bergantungnya hati, tumpuan rasa cinta, takut, dan harap serta tawakal kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

16. Hadits di atas juga menunjukkan bahayanya riya’, karena riya’ adalah syirik yang sangat samar, sementara syirik menyebabkan pelakunya terhalang dari mendapatkan ampunan dosa.

17. Hadits di atas menunjukkan bahwa pengampunan dosa adalah hak Allah Ta’ala, bukan hak Nabi ataupun ulama, apalagi pendeta atau pastur gereja!

18. Hadits di atas menunjukkan sebesar apapun dosa selama masih berada di bawah tingkatan syirik, maka masih mungkin untuk diampuni oleh Allah Ta’ala dan masih ada kesempatan masuk surga walaupun pelakunya –jika tidak bertaubat- harus mampir sekian lama di dalam neraka, semoga Allah menyelamatkan kita darinya. Dosa syirik pun, apabila pelakunya bertaubat, maka akan diampuni oleh Allah Ta’ala.

Inilah sebagian pelajaran yang bisa kami sampaikan dalam kesempatan ini, semoga bermanfaat dan menambah rasa takut kita kepada-Nya. Segala puji hanya milik Allah, salawat dan salam semoga tetap terlimpah kepada Rasulullah.

Yogyakarta, 9 Dzulqa’dah 1430 H
Yang sangat membutuhkan ampunan Rabb-nya
Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.PengusahaMuslim.com


0 comments to "Siapa Bilang Dosamu Tidak Terampuni?"

Post a Comment